Senin, 05 November 2012

Tradisi Adat Dalam Keterbatasan Konsep Kekiniaan



Tradisi Adat Dalam Keterbatasan Konsep Kekinian
Oleh: Yosep Lako Domaking
Dalam kehidupan manusia, budaya dan tradisi menjadi suatu hal yang mutlak sebagai bagian integral dari peradaban bangsa itu sendiri. Setiap budaya dan tradisi yang melekat dalam masyarakat memiliki nilai positif yang mencerminkan kami masyarakat Ile Ape sebagi kaum yang berbudi luhur dalam konsep budaya ketimuran. Namun seiring waktu beranjak dan manusia pun berubah didalamnya. Demikian pula perubahan budaya yang melekat dalam masyarakat seakan telah mengikis, mengerdilkan hakikat dan harkat kaum hawa yang  saya junjung tinggi tersebut.
Berikut adalah beberapa budaya atau tradisi yang menjadi pertikaian dalam benak saya selama ini. Masyarakat Ile Ape sebagi bagian dari suku Lamaholot adalah masyarakat yang menganut garis keturunan patriliniar di mana dalam konsep berpikir kasar bahwa perempuan adalah wanita yang dibeli sehingga dalam berbagi hal wanita sangat di batasi atau selalu terkekangan dalam hak dan kewajiban mereka.
Sebuah contoh yang sering muncul, katakanlah seorang pria yang merantau  dan meninggalkan anak istrinya. Setibanya di tanah rantau lalu ia menikah lagi namun dalam hal ini wanita masih dibatasi karena sudah diberikan belis sebagi ikatan. Apabila wanita menikah maka belis harus di kembalikan seakan - akan perbuatan seorang pria menjadi sesuatu yang lumrah namun bila si wanita berusaha menentukan pilihannya maka ini di anggap sebagai sebuah pelanggaran.
Lalu pertanyan-pertanyaan pun muncul disana. Dimanakah nilai keadilan yang kita sebagi orang Lamaholot kedepankan ketika perlakuan yang dibuat oleh seorang pria kepada wanita tanpa ada tanggung jawab yang jelas?.
Apakah sang hawa harus dikekang dalam kebebasan menentukan masa depan hidupnya dari sang pria yang seakan tak bertanggung jawab tersebut?.
Seolah-olah harta adalah sesuatu yang lebih kitakedepankan ketimbang nilai kebebasan dan harga diri dari wanita itu sendiri.
Dalam kondisi yang paling hancur sekalipun wanita harus dipaksa untuk tetap bertahan dan tidak diberikan kebebasan untuk menentukan arah hidupnya karena terbentur ikatan belis itu sendiri. Apakah nilai belis lebih besar dari segala-galanya, termasuk harga diri?. Sanggupkah kita menerima situasi ini jika Dia yang melahirkan kitalah yang mengalami hal ini?. Apakah tidak seharusnya wanitapun harus diberikan kebebasan untuk menentukan hidupnya sendiri dan terlepas dari belis yang telah diberikan?.
Hakikat dari belis adalah sebagi bentuk penghargaan tetapi tidak dalam semua hal belis adalah penghargaan. Misalkan saja yang seorang pria yang tidak bertanggung jawab kepada wanita yang terlanjur hamil di luar nikah, maka diberikan denda gading tiga kain sarung  yang dimana tiga kain sarung ini sama nilainya dengan orang yang bertanggung jawab kepada saudari sendiri. Harusnya orang yang tidak mau bertanggung jawab harus diberi nilai belis yang lebih besar sehinga menimbulkan efek jera, disamping itu pula untuk mengurangi janda dan melindungi harkat dan martabat perempuan sehinga kaum laki laki tidak bertindak semena-mena.
Persoalan di atas merupakan tradisi yang telah meleset dan seakan jadi konsumsi yang tak memberikan unsur positif diantara kedua pihak. Mungkin masih banyak hal yang belum dan tidak kita ketahui. Inilah buah pikiran dalam segala keterbatasan saya. Mungkin karena wanita tidak dilibatkan ketika berbicara masalah adat sehingga semua keputusan yang di ambil dalam kacamata berpikir kaum laki-laki yang sadar atau tidak masalah yang dibicarakan menyangkut masa depan mereka juga. Beberapa contoh pengikisan adat mengerdilkan kepiawaian adat yang saya angkat tersebut semoga menjadi refrensi berpikir kita bagimana dan seharusnya budaya itu sendiri.
Kalau saja wanita punya kesempatan yang sama untuk berbicara masalah adat, maka mungkin ada satu dari ribuan wanita di tanah Ile Ape yang akan terlahir menjadi Kartini Baru dalam menyuarakan suara di setiap keterbatasn hak mereka ini.

Penulis; Mahasiswa FKIP PJKR Universitas PGRI-Kupang semesteter VI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar